Di tengah kampus yang katanya menjunjung tinggi semangat intelektual, justru kami Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dipaksa bungkam. Kami ingin berteriak, bukan karena manja. Kami mendesak, bukan karena lemah. Tapi karena hak kami, yang jelas-jelas dijamin oleh aturan, dipersulit oleh birokrasi yang lamban, kaku, dan nyaris tak peduli.
Setiap program kerja yang kami rancang membutuhkan dukungan dana. Wajar, karena kegiatan mahasiswa adalah bagian dari pembangunan iklim akademik kampus. Tapi realitasnya, pencairan dana menjadi perjuangan yang melelahkan. Proposal harus berputar dari meja ke meja, tanpa jaminan kejelasan, ada kejelasan cairnya tidak sesuai harapan. Di satu titik, kami bahkan harus berhutang demi memastikan acara tetap terlaksana. Yang ironis: dana yang kami perjuangkan adalah milik kami sendiri.
Sejak tahun 2024, kondisi semakin memburuk. Birokrasi pencairan dana ibarat labirin tanpa peta. Proposal diajukan, tapi tak pernah tahu kapan akan cair, sekalinya cair tidak sesuai yang diajukan. Koordinasi dengan pengelola anggaran seringkali nihil solusi. Kegiatan yang seharusnya menjadi wadah berkarya malah berubah jadi beban keuangan bagi pengurus. Banyak di antara kami harus menalangi dana dari kantong pribadi. Ini bukan pengabdian, ini pengorbanan yang dipaksakan oleh sistem yang gagal.
Kami menyebutnya: cacat kelola. Bukan tanpa dasar. Banyak Ormawa mengalami hal yang sama. Dana kemahasiswaan dikunci satu pintu oleh pihak kampus, tapi pintunya tidak pernah benar-benar dibuka. Mereka memperumit proses yang seharusnya menjadi hak mahasiswa. Padahal dalam Undang-Undang Keluarga Besar Mahasiswa (UU KBM), Pasal 42A ayat 5 menjamin “kemudahan dalam pelayanan informasi kemahasiswaan,” dan Pasal 44 ayat 2 menyebut bahwa “Dana kemahasiswaan dimanfaatkan sepenuhnya oleh dan untuk mahasiswa.” Tapi yang terjadi justru sebaliknya: kesulitan, penundaan, dan ketidakpastian, hingga tidak sesuai pencairan.
Yang paling menyakitkan adalah ketika perjuangan kami dianggap remeh. Kami dianggap rewel, padahal kami hanya menuntut apa yang seharusnya menjadi hak kami. Kami dipaksa mengurus administrasi yang melelahkan, lebih sibuk menyusun dokumen daripada menyusun program kerja. Kami lelah. Tapi kami tidak akan diam.
Kampus sering bicara soal prestasi, inovasi, dan kreativitas. Tapi di saat yang sama, mereka menyulitkan pihak yang paling aktif menjaga semangat itu. Jangan heran jika banyak Ormawa kehilangan gairah, atau lebih memilih diam daripada terus-menerus dipersulit. Dalam sistem yang menindas, yang tumbuh bukan potensi, melainkan frustrasi.
Kami tidak meminta lebih. Kami hanya meminta hak kami dipenuhi. Proposal kami sesuai prosedur. Kegiatan kami berdampak nyata. Jadi, jangan perlakukan kami seolah kami meminta-minta. Kami bukan pengemis. Kami adalah mahasiswa yang sedang berjuang menjalankan mandat organisasi
Dan hari ini, kami bersuara. Bukan untuk mengiba. Tapi untuk menuntut.
Penulis : Dimas Arya Seva
Discussion about this post