Kami sebagai mahasiswa, mempunyai hak untuk berekspresi dan berkiprah di berbagai organisasi adalah bagian penting dari perjalanan intelektual kami. Namun, sungguh ironis ketika semangat ini justru dibatasi oleh intervensi pihak akademisi terutama dari dosen itu sendiri, yang seharusnya mendukung perkembangan kami. Belakangan, banyak mahasiswa mengalami tekanan dan stigma negatif hanya karena bergabung dengan organisasi kemahasiswaan. Fenomena ini patut menjadi perhatian bersama.
Seorang dosen, yang dikenal memiliki reputasi akademik yang cemerlang, kerap menyampaikan pandangan kontroversial mengenai organisasi mahasiswa. Dalam setiap sesi kuliah, ia terus menyelipkan narasi negatif, menyebut bahwa organisasi hanya membuang waktu, mengabaikan prioritas akademik, dan tidak bermanfaat bagi masa depan. Bahkan, beberapa mahasiswa dipanggil secara personal ke rumahnya untuk diberi nasihat agar meninggalkan organisasi.
Akibat dari tekanan ini, banyak mahasiswa yang awalnya antusias berorganisasi akhirnya mundur demi menjaga nilai akademik dan beasiswa mereka. Padahal, organisasi bukan hanya tempat berkumpul, tetapi juga ruang belajar yang tidak ditemukan di dalam kelas. Kegiatan di organisasi melatih kemampuan manajerial, kepemimpinan, kerja sama, hingga keberanian mengambil keputusan. semua ini adalah bekal yang sangat penting untuk menghadapi dunia nyata.
Hal ini sejalan dengan disampaikan dalam Pasal 02 Kepmendikbud No. 155/U/1998, yang menyatakan bahwa organisasi mahasiswa di perguruan tinggi harus diselenggarakan dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Artinya, keputusan mengenai kegiatan organisasi sepenuhnya berada di tangan mahasiswa, tanpa intervensi pihak dosen atau kampus. Lalu, mengapa masih ada upaya membatasi ruang gerak mahasiswa dalam berorganisasi?
Kampus idealnya menjadi tempat yang mendukung pengembangan holistik mahasiswa, baik secara akademis maupun non-akademis. Dalam konteks Tri Dharma Perguruan Tinggi, mahasiswa tidak hanya dituntut unggul dalam pendidikan dan penelitian, tetapi juga pengabdian kepada masyarakat. Organisasi mahasiswa adalah medium yang sempurna untuk mengasah semua aspek tersebut. Dengan terjun langsung di lapangan, mahasiswa mendapatkan pengalaman konkret yang memperkaya wawasan mereka.
Namun, realitas di lapangan sering kali berbicara sebaliknya. Beberapa dosen menggunakan otoritas mereka untuk menanamkan ketakutan pada mahasiswa yang ingin berorganisasi. Narasi bahwa organisasi akan menghambat kesuksesan akademik hanyalah penilaian yang perlu diluruskan. Banyak tokoh sukses, baik di bidang akademik maupun profesional, lahir dari organisasi mahasiswa. Mereka membuktikan bahwa akademik dan organisasi bukanlah hal yang harus dipertentangkan.
Penting bagi pihak kampus untuk introspeksi. Bagaimana kampus memastikan kebebasan mahasiswa untuk berorganisasi tetap terjaga? Adakah mekanisme yang melindungi mahasiswa dari intervensi yang tidak sehat? Kampus perlu menyediakan ruang dialog antara mahasiswa dan dosen untuk menjembatani perbedaan pandangan. Edukasi mengenai manfaat organisasi juga perlu digalakkan agar semua pihak memiliki pemahaman yang sama.
Organisasi mahasiswa adalah tempat belajar kepemimpinan, manajemen konflik, dan berpikir kritis, keterampilan yang tidak dapat diajarkan hanya di dalam ruang kelas. Oleh karena itu, mari kita hentikan intervensi yang mengekang kebebasan mahasiswa. Sebaliknya, kita harus mendukung mereka untuk terus berkembang, baik di bidang akademik maupun non-akademik. Kampus yang ideal adalah kampus yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berekspresi dan berkontribusi sesuai dengan minat dan potensinya.
Penulis : Martin dionisius dan Farhan
Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Patriotik dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke emailredaksipatriotik@gmail.com
Discussion about this post