Menjadi seorang perempuan itu susah, rumit, dan serba salah. Di mana perempuan selalu dituntut menjadi makhluk yang sempurna, yang diharuskan bisa memasak, bisa mencuci pakaian, beres-beres, berdandan, bisa merawat diri, merawat dan mendidik anak, merawat suami, bahkan diharuskan bisa perhatian hingga merawat mertua, dan lain sebagainya. Perempuan tidak bisa bergerak secara bebas, selalu merasa kesulitan untuk menjadi dirinya sendiri, bahkan perempuan harus ini, perempuan harus itu. Apalagi banyak omongan yang dituju untuk perempuan. Perempuan selalu serba salah, ingin melakukan apapun yang dia suka selalu saja mendapat larangan dan cibiran.
Sebagai perempuan sekedar menentukan pilihan saja sudah dianggap menentang, kita kerap didera perasaan yang salah walaupun memiliki tujuan yang mulia.
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan untuk perempuan.
“Jadi perempuan itu harus baik!!”
Jadi perempuan itu harus betutur kata lembut dan sopan!”
“Perempuan ngapain sih sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya juga dirumah, ngurus dapur, ngurus anak, melayani suami.”
“Jadi perempuan gaperlu punya jabatan tinggi, nanti laki-laki minder.“
“Jadi perempuan itu harus cantik, putih, mulus, dan sexy, supaya laku dan terlihat modis di mata laki-laki.”
Kalimat-kalimat ini sering kali kita jumpai di jagat dunia maya, bahkan di kehidupan nyata, sekalipun sangat banyak kita dengar. Disini penulis gagal memahami, bagaimana bisa perempuan yang sudah berjuang memenuhi haknya sebagai manusia, masih saja mendapat tentangan serta celaan.
Tidak sedikit perempuan yang cemas atas kemampuannya sendiri, bahkan tidak jarang malah menganggap rendah dirinya sendiri. Tidak heran, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa sukses berkorelasi positif bagi laki-laki namun kerap membawa konsekuensi negatif bagi perempuan.
Di kanal ini, penulis beropini bahwa perempuan berpendidikan tinggi itu tidak salah. Pendidikan bagi perempuan, sudah terpampang jelas pada Bagian Kesembilan tentang Hak Wanita dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aasasi Manusia (HAM). Pasal 48 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menyebutkan “Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua Jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah
Ditentukan.”
Memang perempuan pasti akan menjadi seorang ibu, tapi perlu diketahui bahwa DNA ibulah yang akan mewariskan kepintaran untuk sang anak. Perempuan yang menjadi seorang ibu harus memiliki kesadaran penuh bahwa seorang ibu berhak memberikan yang terbaik untuk anak, anak berhak mempunyai ibu yang cerdas, dan anak juga berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik dari ibu. Karena seorang ibu mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mendidik generasi selanjutnya agar dapat menjadi sesuatu yang lebih baik bagi bangsa. Wanita berpendidikan tinggi bukan untuk menyaingi laki-laki, tetapi untuk membangun generasi.
Kemarin, lewat akun Instagram penulis membuat polling untuk tahu. Apa yang membuat para perempuan merasa minder?Jawabannya begitu beragam, mulai dari bentuk tubuh, warna kulit, jerawat di wajah, sampai warna gigi, bahkan ada yang menyahut “masa lalu.” Sangking banyaknya, penulis berfikir apakah perempuan harus sempurna? Lengkap segalanya? Apakah perempuan harus seperti kanvas putih yang tidak boleh ada coretan yang tak sengaja menimpanya?
Pesona perempuan bukan soal kesempurnaan, tapi dari pengaruh yang mereka berikan. Perempuan dan pesonanya tidak akan redup karena ketidaksempurnaan pada dirinya. Perempuan dan pengaruhnya tidak akan surut hanya karena mitos keterbatasan, ingatlah bahwa perempuan itu memiliki kecantikan masing-masing, kecantikan bukan hanya dari fisik melainkan dari hati dan etika.
Selain itu, menggunakan pakaian bagi perempuan pun sering kali diatur seperti, “Jadi perempuan jangan memakai baju yang terbuka, nanti kalo di lecehkan nyalahin laki-lakinya.” Padahal sebagai perempuan pun kita berhak untuk mengekspresikan fashion kita masing-masing.
“Perempuan kalo udah sukses, punya jabatan tinggi, pasti laki-laki minder untuk dekat,” menjadi sukses dan disukai bukan hal biasa untuk perempuan, justru kerap bertolak belakang. Kenyataan disekeliling menunjukkan, terkadang ambisi yang perempuan miliki bertentangan dengan tradisi, pekerjaan perempuan yang mengupayakan posisi dianggap hanya mementingkan diri sendiri, bahkan saat sudah berhasil dan sukses serta membawa banyak manfaat bagi orang banyak pun cibiran masih mungkin datang. Menjadi berhasil bagi seorang perempuan bisa saja memicu hal negatif, dianggap begini, dinilai begitu, banyak ditakar macam-macam.
Di era modern ini, kita sebagai perempuan harus sama-sama berpegangan tangan bahwa perempuan juga bisa ditempatkan di pekerjaan yang biasanya laki- laki lakukan. Mari kita bicarakan pencapain teman kerja perempuan kita, mengapa itu perlu? Karena, “jika laki-laki di promosikan karena potensinya, maka perempuan hanya berdasarkan performa yang sudah di buktikannya.” Jangan mengikuti gaya mereka, yang kerap memperkenalkan pemimpin perempuan didepan umum bukan dengan pengakuan akan keahlian, tetapi pujian karena penampilan. Jika tidak ada yang sudi mempromosikan seorang perempuan, tidak apa-apa. Biar sesama perempuan juga yang menjadi jurkam nya.
Mengeluh dan kecewa adalah hal lumrah, tapi tetaplah bangga dan bahagia menjadi perempuan. Jadikan dunia menjadi panggung, bukan deret tembok yang memasung. Tetaplah berekspresi, merawat diri, mengembangkan apa yang kita ahli, dan pantang mengubur ambisi.
Menjadi perempuan rasanya seperti memanggul dunia. Tetapi jika kaum ini saling menguatkan, tidak ada beban yang tidak mampu kita tanggung.
*Penulis: Afifah Ayu Nurjanah,
Fakultas Ilmu Hukum (FIH) Universitas Jambi (Unja).
Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Patriotik dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke emailredaksipatriotik@gmail.com
Discussion about this post