Hening malam terasa sangat nyaman di kala libur akhir pekan ibu kota, suara gemetar rel kereta pada bilik rumah, klakson kendaraan yang tak sabar ingin menyebrang, ataupun teriakan mengumpat serta tangisan anak-anak karena dilarang bermain dawai kini sudah mulai mereda. Mimpi buruk ini sebentar lagi akan berakhir tepat setelah suara tetesan air dari pipa bocor itu perlahan memenuhi keheningan malam.
“Sarahhh, ayo bangun. Nanti nasi goreng mu ku makan. “
Aku tersentak dalam tidur ku karena suara teriakan Rani yang begitu kencang. Aku melirik ke arah jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Pagi itu seperti pagi lainnya, aku dan Rani selalu sarapan bersama dan berangkat bekerja bersama. Kami mempunyai toko kecil di sudut persimpangan dekat dengan taman yang di penuhi oleh bunga lili. Toko itu kami beri nama toko impian, dimana setiap orang yang datang akan kami wujudkan impiannya. Terkadang impian mereka hanya sekedar makan eskrim, donat dengan keju, sepatu baru, baju hangat ataupun waktu senggang.
Aku dan Rani sangat senang bisa membantu mewujudkan impian orang-orang yang datang, dan terkadang orang itu datang kembali dengan membawa impian lainnya. Entah sudah berapa banyak impian yang kami wujudkan, yang jelas kami merasakan kebahagiaan yang sama ketika impian itu dapat terwujud. Disini, aku bertemu banyak orang-orang yang membuatku merasa seperti mempunyai keluarga. Mereka adalah orang-orang yang selalu datang berkunjung. Mereka datang tidak hanya dengan impian mereka saja, tetapi juga harapan serta doa yang mereka berikan kepada aku dan Rani. Bahkan terkadang, mereka hanya sekedar mampir untuk bercerita dan berbagi kehangatan.
Kehangatan itu terasa sangat tulus dan dalam seperti buaian ibu kepada anaknya, pelukan ayah kepada putrinya atau genggaman tangan seorang kekasih. Tatapan mata mereka seakan berkata apa adanya, tidak ada kebohongan, kebencian ataupun dendam. Semua itu terasa sangat murni bagai turun langsung dari Tuhan. Namun, ada satu kejanggalan. Dia selalu datang.
Dia yang sangat ditakutkan semua orang yang bernasib buruk. Semua orang termasuk aku sangat menghindari pertemuan itu dengan cara lari ke cerita lain yang kubuat sendiri seakan itu nyata adanya. Cerita itu akan berakhir disaat malam tiba. Dengan sapaan lembut angin sejuk yang menyela tiap helai rambut, suara hening jangkrik mengiringi kantuk yang datang dalam selipan bantal dan kegelapan malam. Disaat itulah aku merasa terbawa jatuh ke dalam dunia yang diliputi kegaduhan isi kepala.
Sesaat setelahnya aku tersentak oleh suara sautan klakson mobil diikuti getar bilik kamar dan siulan kereta api yang memekakkan telinga. Terbangun pada bilik kamar dua kali tiga meter, dengan sisa bungkus makanan yang berserakan, botol-botol di atas kasur serta baju kotor yang tertumpuk setengah meter.
Disinila aku selalu berakhir, pada dilema mimpi buruk sebenarnya serta perkelahian isi kepala yang selalu datang tanpa diundang.
Penulis Ayi Cahyani Mahasiswi Semester V Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia Universitas Batanghari
Discussion about this post