Nama : Delfia Wulandari
Nim : 18011131
Mata Kuliah : Psikologi Forensik (UAS)
Anak merupakan harapan dan generasi penerus bangsa. Setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik). dalam peraturan perundang-undangan dapat dilihat bahwa anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Latifa & Novika, 2018). Berdasarkan yang telah dijelaskan dalam konvensi hak anak PBB terdapat empat prinsip yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik, kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan adanya penghargaan terhadap pandangan anak (Patlima, Susilowati, Santoso, & Ritonga). Banyak sekali kasus-kasus kriminal yang dapat menimpa anak dibawah umur.
Salah satunya merupakan kasus Kekerasan seksual atau biasa kita kenal dengan pencabulan yang terjadi pada anak. Kasus kekerasan seksual sangat banyak terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kita. Perempuan adalah target utama atau korban dari tindakan pelecehan seksual maupaun kekerasan seksual. Dalam beberapa waktu ini kita sangat sering mendengar berita tentang kekerasan seksual, pencabulan terhadap anak perempuan yang masih berusia di bawah umur.
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu tindakan dimana anak yang belum berusia di atas 18 tahun yang terlibat dalam aktivitas seksual orang dewasa (Noviana, 2015). Menurut ECPAT (End child prostitution in asia tourism) kekerasan seksual adalah hubungan yang terjadi antara anak dengan orang dewasa seperti orang yang tidak dikenal, saudara kandung, atau orang tua dimana anak digunakan sebagai alat untuk memusakan kebutuhan seksual orang dewasa. tindakan ini dilakukan dengan cara paksaan, ancaman, bahkan dalam bentuk tipuan yang membuat anak merasa tertekan (Noviana, 2015). Anak menjadi sasaran utama individu untuk melakukan pencabulan. Dikarenakan anak dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya yang masih bergantung kepada orang dewasa. Pelaku yang melakukan pencabulan merupakan orang terdekat dari lingkungan. Seperti kasus yang baru baru ini viral yang terjadi di kota padang dimana dua anak perempuan di cabuli oleh keluarga nya sendiri. pelaku merupakan kakek, paman dan kakak kandung serta kakak sepupu dari kedua anak perempuan tersebut. Mengutip dari (Sumbar Inews.id) sepanjang bulan Januari hingga bulan November tahun 2021 terdapat sebanyak 85 kasus kekerasan seksual terjadi kepada anak di kota Padang. Kasus kekerasan keksual yang terjadi kepada anak dibawah naik drastis di tahun 2021. Dan pelaku merupakan orang yang sangat sering berinteraksi dengan korban.
Salah satu kasus yang menraik perhatian belakangan ini di kota Padang dalam (Kompas.com) adalah kasus yang terjadi kepada dua anak yang di cabuli oleh keluarganya tersebut. korban merupakan anak dibawah umur yang berusia 5 tahun dan 9 tahun. Kasus ini terungkap berkat adanya aduan dari korban ke tetangga bahwa dia telah dicabuli oleh kakeknya. Setelah mendapatkan pengaduan dari korban tetangganya pun melaporkan kepada ketua RT dan melapor ke pihak kepolisian. Pencabulan yang terjadi kepada kedua anak tersebut terjadi secara berulang kali. Sehingga membuat kedua anak tersebut trauma. Takut untuk bertemu dengan kakeknya dan tidak betah jika berada di rumah. Orang tua korban yang merupakan ibu korban tidak ingin memberikan keterangan kepada pihak kepolisian.
Berdasarkan kasus tersebut membuat anak mengalami perasaan traumatis. Salah satu dampak dari kekerasan seksual yang dialami korban yaitu mengalami stress Pasca menjadi korban kekerasan seksual atau dapat dikenal dengan gangguan kecemasan. Stress atau Post Traumatic Disorder (PTSD) merupakan kondisi yang dialami oleh individu dimana individu tersebut mengalami gangguan kecemasan yang berleihan sehingga menyebabkan emosi yang tidak stabil (Muslimah, 2019). Dampak traumatik yang dialami oleh anak korban kekerasan seksual sangat sulit unutk di sembuhkan. Dikarenakan ingatan anak yang masih sangat kuat, terutama jika pelaku masih berada disekitar anak tersebut. perasaan trauma yang dialami anak dapat mengganggu kehidupan pribadi anak tersebut bahkan dapat mengganggu kepribdian dari anak, bagaimana anak berpikir, belajar, mengingat, mengembangkan perasaan diri sendiri dan orang laindan bagaimana dia memahmi dunianya sangat susah dikarenakan perasaan trauma yang dialaminya (Komariah & Noviawati, 2019). Dalam psikologi forensik trauma yang dialami oleh anak yang menjadi korban tindakan kekerasan seksual dapat di kategorikan kedalam Syndrome Evidence merupakan gejala-gejala gangguan yang muncul bersamaan sehingga memicu terjadinya suatu peristiwa. Syndrome evidence digunakan untuk menjelaskan perilaku yang tampak pada korban yang mengalami trauma khusus seperti kekerasan seksual atau jenis kekerasan lainnya (Kaloeti, Indrawati, & Atfaruqy, 2019).
Jika kasus tersebut dilihat dari sudut pandang psikologi forensik. Peran psikologi forensik sangat relaevan untuk membantu kasus diatas. Anak yang mengalami trauma akibat kejadian tersebut dapat diberikan perawatan psikologis oleh psikolog forensik dengan memberikan Psychological First Aids untuk meningkatkan kestabilan emosi korban (Fadilah & Pusvitasari, 2021). Psikologi forensik juga dapat membantu menciptakan rasa aman untuk membuat anak dapat berani berbicara saat di persidangan. Membantu melihat ekspresi nyata bahwa apa yang di katakana oleh anak tersebut benar–benar nyata bukan fantasinya yang dapat dilihat dari ekspresi anak saat berbicara, emosi anak dan gesture anak tersebut (Fadilah & Pusvitasari, 2021). Dengan adanya bantuan dari psikologi forensik diharapkan trauma yang dialami oleh anak yang menjadi korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat anak tersebut dapat berkurang dan anak bisa kembali menjalankan kehidupannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Fadilah.Ayu., Pusvitasari., P. (2021). Peran psikologi forensic dalam kekerasan seksual terhadap anak. Buletin KPIN. 7(16).
Ivo Noviana. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact And Hendling. Sosio Informa.
Komariah, M., & Noviawati, E. (2019). Model Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual Berrbasis Kearifan Lokal Di Kabupaten Pangandaran. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi.
Kaloeti, D. V. S., Indrawati, E. S., & Alfaruqy, M. Z. (2019). Buku Ajar Psikologi Forensik. Yogyakarta: Psikosain
Latifa, K. T., & Novika, D. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Lontar Merah, 1(1), 45-53.
Muslimah, M. H. (2019). Kesehatan Mental Pada Anak Korban Kekerasan Seksual. In Skripsi.
Patilima. Hamid., Susilowati. E., Santoso Budi.A.,Ritonga.A. Modul Dasar Pelatihan Dasar Konvensi Hak Anak Bagi Penyedia Layanan Dan Aparat Penegak Hukum Dalam Pencegahan Penanganan Kekerasan Dan Ekspolitasi Terhadap Anak. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Rahmadani. (2021). Kisah Miris Satu Keluarga Cabuli 2 Anak di Padang, Polisi: Orangtuanya Enggan Beri Keterangan, Korban Malah Lapor ke Tetangga. Diakses Pada 28 Desember 2021. https://regional.kompas.com/read/2021/11/19/194114078/kisah-miris-satu-keluarga-cabuli-2-anak-di-padang-polisi-orangtuanya-enggan?page=all
Rus Akbar. (2021). Sepanjang januari hingga November 2021, 85 kasus kekerasan seksual anak terjadi di Padang. Diakses pada 28 Desember 2021. https://sumbar.inews.id/berita/sepanjang-januari-hingga-november-2021-85-kasus-kekerasan-seksual-anak-terjadi-di-padang/2
Discussion about this post