Harga sawit sedang anjlok,kenapa tidak dimakan saja sawitnya? Ini salah satu pertanyaan yang kontralogis diajukan ketika carut-marut perkelapasawitan terjadi. Sawit menjadi salah satu komoditas yang mendominasi perkebunan di Indonesia.
Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama kali ditemukan di hutan belantara Negara tersebut.Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848,dibawa dari Mauritius Amsterdam oleh seorang warga Belanda.Bibit kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor.Hingga saat ini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara.Sebagian keturunan kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut telah diintroduksi ke Deli Serdang (Sumatera Utara) sehingga dinamakan varietas Deli Dura (Hadi, 2004).
Bahwa memang tanaman monokultur kelapa sawit tidak bisa menjadi jaminan bagi kesejahteraan yang berkelanjutan. Hal ini terbukti ketika harga TBS (tandan buah segar) sawit anjlok sampai dengan Rp.300. Harga TBS tersebut terjadi akibat adanya larangan ekspor CPO (crude palm oil) oleh presiden Joko Widodo. Ini menjadi kebijakan yang diambil oleh pemerintah dikarenakan adanya kenaikan harga minyak goreng sebagai hasil utama pengolahan kelapa sawit pada awal tahun dan diikuti oleh langkahnya minyak goreng dipasaran pada bulan berikutnya.
Sekelumit drama perkelapasawitan diatas tampaknya tidak menjadi penyadar kepada bangsa bahwa dominasi berlebihan kelapa sawit tidak berdampak baik bagi kesejahteraan negara. Mulai dari paradigma petani akan kelapa sawit yang fanatik sampai kepada minimnya kemampuan SDM petani dalam pengolahan pasca panen kelapa sawit. Petani terlanjur nyaman dengan pola perkebunan kelapa sawit yang hanya memanen dan langsung menerima uang penjualan,tanpa terpikirkan tentang bagaimana jika hal-hal yang belakangan ini terjadi.
Peran pemerintah yang seharusnya hadir dalam masalah ini seakan tidak menjadi solusi. Ekonomi yang diamanahkan oleh UUPA berupa kekeluargaan dan gotong-royong untuk mencapai kesejateraan bersama telah dialihkan arah pandangnya ke investasi. Kesempatan bagi para korporasi yang cenderung memetingkan kekayaan sendiri menjadi hal yang gamblang. Apalagi ketika adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang disahkan pada 2020 kemarin semakin meleluasakan raksasa-raksasa korporasi dalam memenuhi keserakahannya. Bahkan ketika diajukan judicial review terhadap UUCK dan menghasilkan keputusan bahwa UUCK “inkonstitusional bersyarat” serta ditangguhkan selama 2 tahun, UUCK masih menjadi hantu yang bergentayangan dalam praktek hukum di Indonesia.
Selain itu terdapat kebijakan pemeerintah tentang moratorium sawit yang melarang perluasan izin perkebunan sejak tahun 2017-2019 yang merujuk pada data ditemukannya perusahan kelapa sawit yang melampaui Hak Guna Usaha (HGU) yang mereka miliki serta 3 juta hektar sawit berada didalam kawasan hutan. Salah satu factor timbulnya konflik agraria yang marak terjadi dikarenakan oleh kehadiran korporasi sawit yang mengabaikan izin-izin yang ada.
Kemerdekaan dan Kedaulatan
Kekayaan alam yang telah lama terkandung didalam bumi Indonesia seharusnya cukup untuk mensejahterakan masyarakan secara berkelanjutan. Indonesia yang sejak zaman dahulu dikenal sebagai penghasil bebrbagai macam tanaman pangan. Bangsa Eropa pada sejarahnya rela menyebrangi lautan luas untuk mengambil hasil bumi nusantara yang begitu kaya. Nusantara yang begitu makmur menghidupi manusia menjadi tujuan banyak bangsa dalam memenuhi pangan.
Namun apa yang terjadi pada saat sekarang sangat kontradiktif terhadap apa yang terjadi dimasa lalu. Adanya pergeseran kebudayaan pasca penjajahan menjadi penyebab kemunduran bangsa Indonesia. Keilmuan tentang bagaimana masyarakat mengolah sumber agraria telah mencapai puncak dan dibuktikan dengan kekayaan kuliner nusantara.
Tanaman pangan seperti padi,cabai,bawang dan sayuran yang menjadi makanan pokok sehari-hari dapat menjadi solusi bagi para petani untuk kehidupannya. Paling tidak ketika ketidakpastian harga jual,petani tidak khawatir akan konsumsi keluarga dan masyarakat. Tidak demikian dengan pola pertanian masa kini,penyebaran dan dominasi tanaman monokultur terhadap tanaman holtikltur sangat cepat. Petani tidak lagi menanam apa yang dia makan,dan memakan apa yang ia tanam.
Pada hakekatnya masalah yang terjadi sekarang terletak pada kedaulatan dan kemerdekaan yang ada pada petani. Petani yang diklaim sebagai penyedia pangan bangsa saat ini sedang murung tentang nasibnya oleh system ekonomi yang tidak memihak kepada mereka. Tanaman petani talah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar,bukan pada kedaulatan pangan. Ini juga berdampak tidak adanya regenerasi petani karena petani tidak dapat menjamin kesejahteraan. Generasi muda hanyut dalam system yang merayu mereka untuk meninggalkan budaya kehidupan agraris dan berpindah pada kehidupan gaya baru.
Ini menjadi ancaman bahwa ketika masyarakat meninggalkan sumber daya alam mereka dan menyerahkannya kepada orang lain maka ketergantungan dan konsumerisme mengekang masyarakat. Sebenarnya sangat berat bagi petani untuk meninggalkan lahan mereka,namun apa daya. Ketidakpastian ekonomi petani dalam system pasar yang ada secara tidak langsung mengusir petani dari lahan mereka. Ini permulaan dari ketidakmandirian masyarakat akan hal yang sangat penting bagi kehidupan mereka,dan akan bermuara pada banyaknya masalah sosial.
Yang dulunya masyarakat mengkonsumsi pangan yang sehat karena mereka sendiri yang memproduksinya dan sekarang beralih kepada makanan modern instan (fastfood) yang terbukti dalam banyak penelitian tidak baik untuk kesehatan.
Oleh karenanya reforma agraria dan kedaulatan pangan menjadi hal fundamental dalam mensejahterakan kehidupan sosial. Petani merdeka atas tanah mereka dan mendapat keadilan dalam mendistribusikan hasil mereka melalui system ekonomi yang berasas pada kekeluargaan dan gotong royong, bukan pada system korporasi.
Kedaulatan dan kemerdekaan atas sumber daya menjadi awal terwujudnya kesejahteraan. Kesejateraan bukan berasal dari system pengeksploitasian untuk segelintir kalangan. “Tanah air ada disana,dimana ada cinta dan kedekatan hati,dimana tidak ada manusia menginjak manusia lain.” – Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya).
*Penulis : Yuda Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Semester 4 Universitas Batanghari (Unbari) Jambi
Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Patriotik dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke emailredaksipatriotik@gmail.com
Discussion about this post