Dewasa ini dinamika intelektual kampus tidak menyentuh hakekatnya. Tujuan dari tiap-tiap gerak yang dilakukan terkesan tanpa konsep keilmuan yang jelas. Prinsip-prinsip yang tersebar luas dalam masyarakat tidak lagi dapat dianalisa oleh jasad-jasad yang ada dikampus, bahkan apa yang mereka lakukan didalam kampus hanya untuk mengikuti belenggu sistem yang tercipta didalam masyarakat. Hal ini tentunya menciderai status sosial sebagai seorang mahasiswa yang seharusnya dapat menjadi penyadaran sosial.
Status sosial yang didapat lebih sering dijadikan sebagai pelarian ketika ditanya “sedang sibuk apa sekarang?”. Hal seperti ini menjadi salah satu alasan bagi penerus bangsa kedepannya? Atau dengan alasan kesuksesan materi berupa keamanan perut, jabatan, birahi,nafsu dan lainnya?.
Ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh filsuf terkenal Karl Marx dalam Marxisme bahwa manusia adalah hasil alat-alat produksi (Masyarakat). Jika masyarakat itu baik maka manusia itu akan baik pula, jika masyarakat itu buruk maka akan buruk pula manusianya. Apakah hal ini yang menjadi hasil dari produksi intelektual masyarakat sekarang?.
Mahasiswa dalam kebanyakan kasus tidak output yang sebenarnya. Mahasiswa dalam berproses dikampus hendaknya sadar akan posisi dan potensi nya dalam ruang peradaban masyarakat. Mereka tidak boleh ikut terlena seperti orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan kuliah.
Ketika dimasa ini mahasiswa dapat mengumpulkan cahaya-cahaya keilmuan yang bertaburan. Membahas hal-hal yang pernah terjadi sepanjang peradaban manusia, memahami tidak hanya sekedar teori praktis terkait disiplin ilmunya, namun juga mengasah kepekaan dan kesadaran akan apa yang terjadi disekitarnya. Memahami untuk apa mereka diciptakan dan mengetahui kemana jalan manusia berpulang.
Sepanjang perjalanan sejarah manusia, hanya terdapat dua kaum yaitu kaum penindas dan kaum tertindas. Pada zaman ini, ketika pengetahuan yang diperoleh mahasiswa hanya sebatas formalitas maka perbedaan kedua kaum ini tidak akan terlihat. Sebagai agen perubahan, mahasiswa dapat melihat kesenjangan tersebut dengan cahaya-cahaya keilmuan.
Cahaya keilmuan tersebut tidak bisa didapatkan dalam ruang kelas, namun ruang-ruang diskusi publik yang tercipta sebagai wadah dialektika mahasiswa mengembangkan keilmuannya. Itulah sebabnya kenapa mahasiswa diberikan kesempatan lebih dalam menjajaki lika-liku keilmuan. Bukan hanya sekedar terlahir, bersekolah, berkerja, menikah dan lalu mati. Kemudian cahaya tersebut seharusnya dapat menjadi penerang, penyadaran yang mengarahkan masyarakat menuju keadaan yang sebenarnya.
Seketika tersirat pernyataan ideolog Ali Syariati bahwa temukanlah Tuhan didalam kaum tertindas. Pernyataan ini mengajarkan bahwa ilmu yang Mahasiswa dapat tidak hanya diperuntukkan untuk pribadinya sendiri, melainkan juga menjadi cahaya bagi mereka yang membutuhkan. Kaum tertindas menunggu untuk timbulnya insan-insan intelektual yang membersamai mereka, itulah idealisme yang tercipta sebagai seorang intelektual.
Idealisme yang tercipta dari proses yang dijalani pada masa mahasiswa akan diuji coba dalam realitas bermasyarakat. Akankan nilai suci idealisme itu tertukar dengan hal terbatas materi atau tetap menjadi pegangan suci yang mengarahkan intelektual menuju hal tak terbatas (immaterial) layaknya Tuhan.
*Penulis : Yuda Pratama, Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Semester 4 Universitas Batanghari (Unbari) Jambi
Rubrik opini, penulis bertanggung jawab atas keseluruhan isi. Patriotik dibebaskan atas tuntutan apapun. Silakan kirim opini Anda ke emailredaksipatriotik@gmail.com
Discussion about this post